Judul diatas memiliki makna yang mendalam.
Buat my lovely kids, semoga menjadi perenungan cerita dibawah ini.
Pada saat ayahnya menarik napas panjang dan dengan tangan bergetar menyerahkan uang sebanyak 4.533 dolar yang dipinjam dari orang lain ke tangannya, ia memahami dengan jelas kalau setelah membayar 4.100 dolar untuk biaya kuliah dan biaya serba serbi lainnya, maka dalam semester ini hanya tersisa 433 dolar untuk biaya hidupnya.
Tapi ia juga sangat jelas kalau ayahnya yang berusia lanjut telah berusaha dengan segenap kemampuan dan tidak bisa lagi memberinya lebih.
“Ayah, engkau tidak usah khawatir, saya masih memiliki sepasang tangan dan sepasang kaki untuk dipergunakan.”
Dengan menahan sedih, ia berusaha tersenyum untuk menghibur ayahnya, setelah itu ia membalikkan badan dan berjalan menuju jalan gunung yang berkelok itu.
Pada saat membalikkan badan, air matanya pun mengalir turun.
Dengan mengenakan sepasang sepatu karet yang masih setengah baru, ia menempuh perjalanan melintasi gunung sepanjang akhir 180 kilometer dan selanjutnya menghabiskan 68 dolar untuk naik bus, sampai akhirnya ia tiba di universitas yang menjadi impiannya.
Setibanya di kampus, setelah dikurangi ongkos bus dan biaya kuliah, di tangannya hanya tersisa 365 dolar. Untuk kuliah selama 5 bulan dan hanya memiliki 365 dolar di tangan, entah harus bagaimana mempergunakannya agar bisa cukup untuk melalui semester ini?
Ia memandang pada teman-teman sekampus yang berlalu lalang dengan MP3 player tergantung di leher atau mengenakan pakaian branded, ketika mereka tersenyum dan menyapanya, ia juga membalas dengan senyuman, hanya saja tiada seorang pun yang tahu kalau hatinya sedang menangis sedih.
Makan hanya dua kali sehari, setiap kali makan diusahakan di bawah 2 Dolar, ini adalah standar pengeluaran yang ditetapkannya sendiri.
Tapi meski pun demikian, uangnya tetap saja tidak bisa dipertahankan sampai akhir semester.
Setelah dipikirkan bolak balik, akhirnya ia nekat pergi ke satu toko handphone untuk membeli satu handphone bekas seharga 150 dolar, handphone yang selain bisa untuk berbicara, hanya bisa untuk SMS.
Keesokan harinya, pada setiap papan pengumuman di kampus tertempel lembar demi lembar kertas iklan mini:
"Apakah anda membutuhkan jasa pelayanan titipan? Jika anda tidak ingin keluar sendiri untuk membeli nasi, air minum, membayar tagihan telpon, atau lainnya, silahkan anda hubungi nomor handphone saya dan saya akan memberikan jasa pelayanan yang anda butuhkan dalam waktu sesingkat mungkin. Ongkos jasa pelayanan dalam kampus adalah setiap kali 1 dolar, di luar lingkungan kampus adalah setiap kali 2 dolar".
Begitu iklan mininya keluar, handphonenya boleh dibilang tidak pernah berhenti berdering.
Seorang mahasiswa tingkat empat pada Fakultas Seni merupakan pelanggannya yang pertama: “Aku ini sangat malas, pagi-pagi malas untuk keluar beli sarapan. Tolong engkau belikan.”
“OK! Jam 7 pagi setiap harinya akan saya antarkan tepat waktu ke kamar asrama anda.”
Ia dengan penuh semangat mencatat order pertamanya, kemudian ada seorang mahasiswa lagi yang mengirimkan SMS: “Bisakah engkau belikan sepasang sandal ke kamar 504? Sandalnya nomor 41, harus yang anti bau.
Ia adalah seorang pemuda yang cerdas .
Kuliah tidak seberapa lama, ia menemukan sebuah fenomena menarik: di dalam kampus, terutama mahasiswa tingkat tiga dan tingkat empat, orang yang lebih suka tinggal di dalam kamar saja, semakin lama semakin banyak. Mereka lebih suka berdiam di kamar seharian untuk membaca buku dan bermain komputer, bahkan untuk makan saja malas untuk turun dari asrama mereka.
Sedangkan dirinya dibesarkan di daerah pegunungan, jalan yang tidak rata telah melatih sepasang kakinya menjadi sangat ligat. Ia sanggup naik sampai ke lantai lima atau lantai enam dalam sekejap mata.
Pada suatu sore, salah seorang mahasiswa menelpon untuk membelikan satu porsi makanan cepat saji seharga 15 dolar di restoran cepat saji di luar kampus.
Setelah menutup telpon, ia segera pergi membelinya. Bolak-balik tidak sampai 10 menit.
Ini sungguh terlalu cepat! Mahasiswa tersebut segera memberikan 20 dolar kepadanya.
Tapi ia mengembalikan 3 dolar, sebab ongkos yang ditetapkannya adalah 2 dolar untuk pelayanan luar kampus. Ia berprinsip kalau dalam berbisnis, biar pun jumlah uangnya sedikit, tetap harus menjaga kepercayaan orang.
Kemudian, berbekal efisiensi waktu dan kepercayaan yang diperolehnya, maka asalkan ada kamar di setiap asrama yang membutuhkan pelayanan pembelian barang, pasti akan teringat kepadanya.
Bisnis yang sedemikian bagus sungguh di luar perkiraannya.
Kadang kala sehabis kuliah, begitu menghidupkan handphone, segera terbaca begitu banyak SMS untuk meminta berbagai macam pelayanan.
Pada suatu sore ketika hujan turun dengan derasnya, handphonenya berdering, adalah seorang gadis yang mengirimkan SMS.
Gadis itu menyampaikan kalau ia membutuhkan sebuah payung, lebih cepat lebih baik. Menerima informasi tersebut, dalam sekejap ia sudah berlari dalam hujan.
Sampai ketika dirinya yang basah kuyup menyerahkan payung ke tangan gadis itu, gadis itu sangat terharu dan tanpa bisa menahan diri langsung memeluknya dengan hangat!
Ini adalah kali pertama dirinya menerima pelukan dari seorang gadis. Ia terus mengucapkan terima kasih tanpa bisa menghentikan air matanya yang mengalir deras .......
Seiring dengan semakin tenar namanya, bisnis pun semakin baik, asalkan ada kebutuhan pelanggan, ia selalu memberikan layanan tercepat dan paling berkualitas.
Bagaikan hanya sekejap mata saja, semester pertama ternyata terus berjalan dan sudah sampai pada akhirnya.
Ketika pulang kampung pada liburan musim dingin, ia menemukan ayahnya masih khawatir untuk biaya kuliahnya, ia lalu mengeluarkan 1.000 dolar dan menyerahkannya ke tangan ayahnya: “Ayah! Meski pun anda tidak memberikan pada saya sebuah keluarga yang kaya, tetapi anda telah memberikan pada saya sepasang kaki yang sangat pandai berlari. Dengan sepasang kaki ini, saya pasti mampu ‘berlari’ sampai tamat kuliah dan mendapatkan sebuah nama besar!”
Sehabis Tahun Baru, ia tidak lagi bertempur seorang diri, tetapi sudah merekrut beberapa orang teman yang berasal dari keluarga miskin sebagai pembantu untuk melayani pelanggan di seluruh kampus, bahkan luar kampus.
Lingkup pelayanannya juga semakin luas, perlahan-lahan berkembang dari hanya barang kebutuhan sehari-hari sampai mencakup suku cadang komputer dan produk elektronik.
Sehabis semester ini, ia tidak hanya membeli komputer, juga telah memiliki basis pelanggan yang besar di internet, bahkan diangkat sebagai agen di dalam kampusnya oleh salah satu shopping centre besar.
Lari, lari, ia terus berlari, ia berlari sepanjang jalan sampai mencapai kesuksesan.
Ia mengatakan bahwa selama empat tahun kuliah, ia bukan hanya hendak menamatkan perguruan tinggi dengan nilai yang baik, juga hendak menghasilkan “pot emas pertama” untuk modal bisnis di masa mendatang.
Ia menetapkan target “pot emas pertama” pada angka 500.000 dolar. Namanya pemuda ini adalah Namanya adalah He Jia-nan, seorang anak yang berasal dari daerah pegunungan Daxin anling, ia berlari dari daerah pedalaman sampai ke tingkat ke-3 di Normal University Propinsi Heilongjiang.
Walau pun sekarang sudah menjadi distributor dalam kampus, tetapi dirinya tetap seperti semula, masih saja sederhana dan pekerja keras, tetap menghantarkan secangkir air bagi pelanggan demi mendapatkan ongkos 1 dolar, tetap saja seorang pemuda yang berlari kencang bagaikan hembusan angin!
Jika pemuda tadi adalah anda, apa yang akan anda lakukan? Apakah anda akan seperti pemuda dalam kisah tadi atau menyalahkan orangtua dan masyarakat atas nasib anda?